Assalamualaikum J
Hari ini saya ingin bercerita tentang—entah keberuntungan atau
kemalangan—suatu peristiwa tidak diinginkan yang terjadi kemarin lusa, 11
Rabi’ul Awal 1434 H.
Kemarin, saya seharusnya berangkat ke Banyuwangi dengan kereta dari
Stasiun Gubeng. Saya, seharusnya, hari ini sudah berada di Banyuwangi bersama
Ajeng, Ipin dan Andika bersilaturahmi ke rumah Apin, tentunya di Banyuwangi.
Tetapi, memang karena manusia hanya bisa berencana dan Tuhan yang menentukan,
saya masih di kos hari ini. Alasannya? Sederhana. Saya telat naik kereta.
Alhamdulillah -_________-
Jadi, ceritanya, jadwal berangkat kereta dari Stasiun Gubeng, Surabaya,
menuju stasiun Banyuwangibaru, Banyuwangi, jam 13.50 WIB. Dan saya berusaha
untuk mencapai Stasiun Gubeng sekitar jam 13.00 WIB. Dan nyampek di
Stasiun Gubeng sekitar jam 14.30an WIB. Kereta baru berangkat, yang artinya
kereta telat dari jadwal yang tertulis di tiket, tapi sayanya lebih telat.
Alasannya? Sederhana. Saya tidak tau jalan menuju Stasiun Gubeng. Dan yang mengantar
saya menuju Stasiun Gubeng juga tidak tau jalan. Itu salah satu kesalahan yang
saa lakukan. Beberapa yang lain adalah sebagai berikut:
1.
Ngentengin waktu.
Harusnya (mungkin) berangkat lebih awal karena saya dan Nafi’ (yang mengantar
saya) juga tidak tau jalan. Namun, karena saya ber-positive thinking
dari awal bahwa kami tidak akan nyasar, jadinya tidak ada waktu yang
kami sediakan untuk kemungkinan nyasar tersebut.
2.
Tidak berkoordinasi dengan teman-teman (Ajeng, Ipin, Andika). Sudah
sadar bahwa saya dan Nafi sama-sama tidak tau jalan, tapi tetap saja nekad
untuk jalan sendiri (maksudnya berdua). Seharusnya kan berangkat bareng
mereka dari ITS. Memang sebelumnya sudah berkoordinasi dengan Ajeng, tapi
karena koordinasi tidak ‘jalan’, akhirnya Ajeng sudah sampai di Stasiun Gubeng
sebelum jam 13.50 WIB sedangkan saya masih berkelana di jalan bersama Nafi’.
3.
Meminta diantar oleh Nafi’ yang notabene juga tidak tau jalan (seperti
yang sudah saya utarakan di depan tadi).
Sebenarnya, beberapa menit sebelum kereta sampai di Stasiun Gubeng,
saya sudah menerima informasi bahwa keretanya sudah berangkat. Tapi, karena
saya orang yang (kadang) pantang untuk menyerah, saya memutuskan untuk tetap
mencari jalan menuju Stasiun Gubeng. Akhirnya memang sampai, pada kekecewaan.
Kereta sudah berangkat beberapa menit yang lalu. Dan saya pun memutuskan untuk
pulang, kek kos.
Perlu Anda sekalian ketahui, bahwa ini pertama kalinya dalam sejarah
hidup saya, saya membeli tiket kereta api tuuut tuuut tuuut. Yang artinya baru
pertama kalinya saya bermaksud untuk naik kereta api tuuut tuuut tuuut. Dan,
gagal dengan suksesnya. Tiket kereta api tuuut tuuut tuuut ekonomi yang saya
beli seharga Rp. 54.000,- (Rp. 35.000 harga tiketnya, Rp. 15.000 buat nyogok
Pak Polisi yang sedang melaksanakan tugasnya saat itu dan Rp. 4.000 untuk
parker motor) tidak bisa digunakan sampai akhir menutup mata. Alhamdulillah
-_______-
Kekecewaan pertama telah saya curhatkan di atas. Kekecewaan kedua
adalah teruntuk orang tua saya—khususnya Ibu—di rumah. Ya! Saya kecewa karena
reaksi beliau ketika saya member kabar gembira ini (telat naik kereta api tuuut
tuuut tuuut) adalah: Pertama, bilang,”Jadi, uangnya dibuang-buang gitu?”.
Kedua, bilang,”Lain kali tidak boleh liburan (maksudnya berenacana liburan,
red) ke rumah temen-temen lagi.” Dua kalimat yang menurut saya tidak
tepat diucapkan kala itu. Kenapa? Karena saat itu saya sedang kesal dan
membutuhkan ketenangan, bukan ‘amarah’ seperti itu. Ya! Itu tentang psikologi
yang—sepertinya—tidak dimengerti Ibu saya. Pendidikan memang mempengaruhi cara
berpikir.
Yang saya sadari sejak dari dulu terkait dengan kebiasaan orang tua
yang mengandalkan amarah dalam menyelesaikan masalah dengan anak adalah cara
itu sudah tidak efektif lagi—atau memang dari dulu tidak efektif. Karena orang
tua saya tipe orang tua yang mengandalkan amarah dalam menyelesaikan masalah
dengan anaknya, dan saya tidak belajar dari amarah itu. Saya memang terkadang
takut melakukan sesuatu yang kalah karena takut dimarahi, tapi sungguh itu
bukan cara yang efektif. Beberapa pertanyaan yang muncul dari otak saya ketika
itu adalah:
1.
Ketika marah bukan lagi solusi untuk menasihati anak, lalu apa yang
harus dilakukan orang tua?
2.
Bagaimana cara memberitahukan orang tua saya bahwa marah bukanlah
solusi yang tepat untuk saya saat ini—mungkin seterusnya?
3.
Apakah jika anak melakukan kesalahan—misal, seperti yang saya
lakukan—dia tidak boleh berencana untuk berlibur ke rumah temannya lagi? Apakah
itu adalah cara yang tidak tepat untuk menghukum anak?
4.
Kapan saya pulang?
Pertanyaan terakhir berkaitan dengan malasnya saya mendengarkan Bapak
dan Ibu—mungkin juga Mbah—marah karena kesalahan kecil ini. Entahlah…saya
merasa tidak pelu dimarahi karena tidak aka nada manfaatnya. Tiketnya jelas
sudah tidak bisa digunakan lagi. Dan saya—jika dimarahi—tidak akan berubah dari
kebiasaan mengentengkan waktu jika memang saya tidak berniat seperti
itu. Artinya—mungkin karena sudah terbiasa dimarahi—marah tidak lagi berefek
kepada saya.
Pada akhirnya, saya terdampar di kosan bersama Nafi’, kak Ota (Qurrota)
yang baru balik kemarin karena ada acara hari ini dan Eli yang juga baru balik
kemarin. Berempat, di kosan yang sepi dupi ini. Karena musim kuliah masih akan
dimulai tanggal 11 Februari 2013.
Dan terima kasih yang mendalam saya haturkan kepada Nafi’ yang telah
bersedia mengantar saya dan telah ikhlas saya berantakin acaranya untuk
kumpul komunal bersama teman seangkatannya dan kumpul bersama temannya di UKM Maritime
Challenge. Hehe.
Sebenarnya yang saya ingin share disini adalah tentangnya
pentingnya belajar menjadi orang tua yang baik. Orang tua yang bisa menjadi
orang tua sekaligus sahabat bagi anaknya. Yang tidak mengandalkan amarah dalam
mendidik anak. Itulah alasan saya membuat halaman Prophetic Parenting yang
sampai sekarang belum terisi apa-apa. Hehe :D
Pendidikan memang mempengaruhi cara berpikir. Meski sudah saya belikan
majalah tentang Prophetic Parenting, Ibu saya masih sama seperti dulu.
Seperti tidak pernah membacanya, padahal sudah dibaca meski sedikit. Sepertinya
sama sekali belum dipraktekkan. Karena Ibu saya yang notabene hanya lulusan
SMP, sepertinya tidak mengerti pentingnya belajar untuk mendidik anak seperti
yang telah diajarkan Rasulullah. Beliau tidak mengerti bahwa cara yang
digunakan oleh orang tua untuk mendidik anaknya sangat memperngaruhi cara
berpikir dan berperasaan anaknya. Ini masalah psikologi, jelas Ibu saya tidak
mengerti. Yah…pendidikan memang mempengaruhi cara berpikir.
Baiklah pembaca fillah… sampai disini dulu cerita saya. Semoga yang
lumayan panjang ini bermanfaat. Aamiin J. Dan saya ingin mengucapkan Selamat Merayakan Kelahiran Rasulullah
Muhammad SAW. Semoga kita bisa menjadikan beliau teladan dalam kehidupan
sehari-hari. Aamiin J
Surabaya
13 Rabi’ul Awal 1434 H