http://hdwallsource.com/

Ini tentang pelajaran yang sudah saya pelajari sejak lama, namun belum saya pahami cara untuk melakukannya. Sulit rasanya, meski banyak orang sekitar yang sudah membuktikannya meski mereka tak menyadarinya. Namun, saya menyadarinya dan mencoba untuk menirukan mereka. Sayang belum berhasil.
Tentang berprasangka baik pada masa setelah ini. Setiap kita pasti punya dua jenis masa: masa sedang berbahagia dan masa untuk bersabar. Saat berbahagia, kita tak punya alasan untuk tak tersenyum. Tersenyum atau tertawa menjadi hal yang mudah. Sedangkan saat harus bersabar, terkadang agak sulit untuk tersenyum apalagi tertawa. Dan karena alasan ‘agak sulit’ ini, hingga saat ini saya belum berhasil melakukannya.
Mungkin tidak akan kamu temui saya dalam keadaan yang selalu merengut. Tapi dalam keadaan tersenyum atau tertawa pun, seseorang bisa saja tidak sedang berbahagia. Mungkin senyum atau tawa itu hanya sebuah usaha untuk mencairkan isi hati yang mulai menjenuh. Dan mencoba untuk menjadi makhluk yang baik dengan senyuman, agar terkesan bersyukur atas nikmat yang telah diterimanya.
Bersama kesuiltan pasti ada kemudahan. Itu janji Rabmu. Maka, masihkah kau akan menyimpan ketidakyakinan itu? #selftalk
Pada masa setelah ini, akan ada solusi terbaik dari setiap masalah. Yang akan mengundang senyummu kembali, membersamaimu dalam setiap ucapan syukur. Awan yang menguasai pandanganmu tak kan kuasa menahan cahaya matahari yang kau lihat dengan keceriaanmu. Setiap langkah seakan terasa lebih ringan. Setiap senyum yang kau temui terkesan lebih manis. Kau akan selalu tersenyum, pada masa setelah ini.
Namun, ada hal yang lebih menarik. Bagaimana jika kau tersenyum saja sepanjang masa yang kau miliki? Senyum saat masa sedang berbahagia dan masa saat harus bersabar. Bukan untuk hati sudah mulai jenuh, atau hanya untuk terkesan bersyukur. Tapi, untuk Rabmu, pertanda kau percaya padaNya. Percaya pada janji-janjiNya. Percaya bahwa Ia adalah penguasa masa. Tidak ada satupun masa yang luput dari pantauanNya. Hingga kau tak perlu khawatir akan masa setelah ini atau masa setelah masa yang lain. Kau hanya perlu untuk bersyukur, bekerja dan sekaligus menjaga ibadahmu dalam setiap masa. Hingga tidak ada satupun masa yang kau lewati tanpa keyakinan pada Rabmu. Bukankah, ini lebih menarik? J


Surabaya, 11.02.2015 | Dyah Oktavia
http://hdwallsource.com/

Sore hari kemaren, tepatnya jam 3 sore, saya kembali berkesempatan menjadi seorang pemelihara binatang (yang baik). Saya tidak terlahir dari keluarga yang suka memelihara binatang. Karena (mungkin) menurut keluarga kami, mengurus urusan keluarga saja sudah ribet apalagi ditambah mengurus binatang yang segala sesuatunya kadang harus dilayani. Mulai dari makan, mandi, bersih-bersih kandang dan lain sebagainya. Karena hal itu, dalam hidup ini saya baru berkesempatan menjadi seorang pemelihara binatang (yang baik) selama dua kali. Pertama, waktu masih usia SD saya memelihara anak ayam. Tau kan anak ayam warna-warni yang dijual dengan harga Rp. 1000? Saya pilih yang warnanya alami yaitu putih kekuningan dan berhasil memeliharanya hingga usia remaja. FYI, tidak sedikit anak ayam warna-warni itu yang mati setelah beberapa hari pasca serah terima kepemilikan dari penjual ke pembeli. Tapi, anak ayam milik saya yang belum berkesempatan memiliki nama ini berhasil survive hingga usia remaja. Hal itu cukup menjadi bukti bahwa saya adalah seorang pemelihara binatang yang baik B). Sayangnya, pada suatu hari saat saya sedang boci (bobok ciang) ia menemui ajalnya karena peristiwa tabrak lari di belakang rumah saat sedang bermain *hiks. Dan malangnya lagi, saya tidak berkesempatan melihat jasadnya untuk yang terakhir kalinya. Entah jasadnya dikuburkan dimana setelah peristiwa na’as itu. Yah... mau bagaimana lagi. Kebersamaan kami harus berakhir seketika itu juga. Kisahnya sudah berakhir di dunia yang fana ini *hiks. Selamat jalan, anak ayam kecilku yang malang *hiks.
Pada kesempatan kedua ini, saya memilih menjadi pemelihara binatang yang biasa disebut Kura-kura. Saya lupa menanyakan umurnya. Yang pasti tubuhnya masih kecil dan rapuh. Harganya cukup mahal, yaitu Rp. 20000. Padahal yang ukuran lebih besar (mungkin tiga atau empat kali lipat ukuran bayi kura-kura ini) hanya seharga Rp. 35000. Untuk menguji kemampuan saya memelihara binatang, saya memutuskan untuk membeli yang paling kecil. Alhamdulillah tidak seperti binatang peliharaan pertama saya, si kura-kura mungil ini berkesempatan memiliki nama yang lucu. Karena pada saat masih kecil belum bisa ditentukan jenis kelaminnya (kata Ibu yang jual), maka saya beri nama dia Kuku. Bisa jadi namanya akan berubah jika ternyata dia seorang lelaki. Di hari pertama ini dia sangat aktif sekali. Maunya jalan terus. Padahal habitatnya saat ini hanya berukuran sekitar 8x15 cm. Kasian sih sebenernya. Tapi, mau bagaimana lagi. Sabar ya Kuku, kapan-kapan tak beliin rumah yang gede deh. Tapi, gak janji ya wkwkw *cium Kuku*.
Melihat Kuku yang sepertinya kesepian, ingin terus berlari mencari teman atau tempat yang ingin dia tinggali, saya jadi agak galau. Sempat berpikir untuk melepasnya saja. Tapi, tiba-tiba saya teringat sebuah kisah yang pernah disampaikan oleh murabbi saya beberapa tahun yang lalu. Ini kisah tentang seorang lelaki pemelihara ikan. Beliau memiliki akuarium yang panjang dan cukup lebar. Sehingga, ikan-ikan yang beliau pelihara bisa leluasa berenang. Tiba-tiba beliau kedatangan seorang tamu yang kemudian bertanya, “Kenapa tidak dilepaskan saja ikannya, Pak? Kan kasian mereka. Akan lebih baik jika mereka tinggal di habitat aslinya.” Sang pemelihara ikan kemudian menjawab, “Jangan sotoy kamu. Dengan hidup di akuarium ini, saya menjamin mereka mendapatkan makanan yang sehat dan cukup. Airnya selalu saya ganti dengan rutin, sehingga mereka bisa nyaman di akuarium ini. Saya menjamin seluruh kebutuhannya terpenuhi. Kalau mereka hidup di sungai misalnya, bisa jadi mereka akan mati karena kepalanya terbentur batu, atau tidak mendapatkan makanan yang cukup, atau lebih mengenaskan lagi nyawa mereka berakhir di mulut binatang lain. Sedangkan disini, hidup mereka lebih terjamin.” Dan kisah itupun berakhir.
Kemudian murabbi saya menganalogikankan kisah ikan itu dengan kehidupan manusia, dengan Allah sebagai pemeliharanya. Mungkin kita sempat berpikir seperti tamu pemelihara ikan yang menganggap kehidupan yang kita inginkan lebih baik daripada yang terjadi saat ini. Akan lebih baik jika kita terlahir sebagai orang kaya yang tidak perlu bekerja keras untuk membeli barang ini dan itu. Atau mungkin terlahir sebagai orang cerdas yang tidak perlu belajar lama untuk memahami materi pelajaran. Atau terlahir di negara yang lebih makmur, sehingga kehidupan keluarga lebih sejahtera. Tapi, Allah sebagai pemelihara seluruh alam semesta beserta isinya tau kehidupan yang paling baik untuk setiap makhluknya. Setiap detail kehidupan mulai dari keluarga, tempat tinggal, bentuk dan ukuran tubuh, kemampuan yang dimiliki, hingga hal yang sangat kecil seperti sel dan kawan-kawannya. Mungkin, jika kita terlahir sebagai orang yang lebih cantik atau tampan, kita tidak akan memiliki teman-teman yang tulus seperti sekarang. Jika terlahir sebagai orang kaya, kita tidak akan pernah menikmati rasanya mendapatkan uang yang meski tidak besar jumlahnya tapi diperoleh dengan kerja keras dan halal. Atau yang lebih parah, jika kita dilahirkan sebagai ‘orang lain’, kita tidak akan memiliki iman yang lebih baik dari yang kita miliki saat ini. Allah Maha Tau segalanya.
Jika kita diberi kesempatan untuk menentukan semuanya, mulai dari tempat tinggal, keluarga, kecerdasan, kemampuan yang dimiliki, kekayaan dan lain sebagainya, mungkin kehidupan belum juga dimulai hingga saat ini. Manusia dengan sifatnya yang tidak akan pernah puas dengan segala yang dimiliki akan berpikir beribu-ribu kali untuk merencanakan kehidupan yang akan ia jalani. Ia ingin kaya, cerdas, rupawan, multitalenta dan hal-hal lain yang sempurna menurutnya. Dan jika tidak dibatasi waktunya, mereka tidak akan pernah selesai meminta ini dan itu. Mereka akan terus menyebutkan yang mereka ingini, kemudian meralatnya, menyebutkan hal lain yang menurutnya lebih baik, dan akan terus seperti itu. Bukankah dengan kewenangan yang hanya dimiliki oleh Allah untuk menentukan segala sesuatunya memudahkan hidup kita? Bukankah Allah tau segala hal yang lebih baik? Bukankah kehidupan yang sempurna di dunia yang satu tidak menjamin kehidupan di dunia lain yang juga sempurna?
NB: Tidak bermaksud menggurui atau menjadi orang yang sok bijak. Terkadang tulisan seperti ini dimaksudkan untuk mengingatkan diri-sendiri. Sekaligus mengingatkan orang lain agar berpikir dan sama-sama menjadi pribadi yang lebih baik setelahnya. Rasa ‘tak menyenangkan’ yang hadir mungkin disebabkan oleh kekhilafan si penulis. Semoga rasa apapun yang muncul saat atau pasca membaca tulisan ini, tidak menyebabkan pembaca  gagal mengambil pelajaran dari tulisan ini. Semoga J


Surabaya, 05.02.2015 | Dyah Oktavia
http://hdwallsource.com/

Kata orang, setiap dari kita punya masa lalu yang ingin dihapus. Diganti dengan masa yang lebih indah, lebih berharga. Setuju sih. Aku punya masa lalu yang seperti itu. Ingin ku hapus, sayangnya tak bisa. Yang bisa kulakukan hanya menyembunyikannya dari orang-orang baru yang hadir di masaku kini. Dengan topeng, aku berhasil melakukannya. Tak ada yang tau tentang rupa kisah yang pernah kulalui di masa sebelumnya, termasuk kamu. Dengan topeng, aku merasa lebih baik. Merasa lebih leluasa melakukan hal-hal baik bersamamu. Menikmati hari, melukis asa bersama disana. Dengan topeng, aku merasa lebih percaya diri. Tak lagi terhantui oleh masa laluku sendiri. Lebih enak begini, memakai topeng. Tak apa kan aku memakai topengku?
Seperti yang lain, aku tak nyaman ketika seseorang tau tentang masa lalu itu. Terlebih kamu, meski hanya sedikit. Meski kau juga pernah bilang, “Setiap kita punya masa lalu yang ingin dihapus”, aku tetap tak ingin membaginya denganmu. Bagaimana jika masa lalu itu ternyata diluar jangkauan anganmu? Akankah kau tetap sama, tak berubah sama sekali? Aku tak yakin. Maka, biarkan aku memakai topengku. Dengannya aku merasa lebih baik.
Kita tak harus tau jalan dibelakang kita masing-masing untuk menapaki bersama jalan didepan, bukan? Toh jalan itu tak akan lagi kita tapaki. Kita akan mengambil pelajaran darinya untuk melewati jalan didepan. Kita akan berjalan, berlari, duduk, tersenyum dan berjalan lagi tanpa kisah masa itu. Aku tetap dengan topengku. Dan kau tetap bisa menatapku tanpa terhalang topengku. Kita akan saling bertatapan, saling tersenyum, dan saling menguatkan. Karena jalan didepan masih panjang.
Sepertinya aku pelu minta maaf atas masa yang kini membuatku ingin terus memakai topeng. Aku perlu meminta maaf atas diri yang tak bisa kujaga untukmu dimasa sebelumnya. Aku sudah minta maaf, kau memaafkanku kan? Sebelum bertemu denganmu aku sudah berjanji tak akan lagi membuat diriku harus memakai topeng hingga berlapis-lapis. Kuusahakan untuk tak mengulanginya lagi. Aku mau menjadi lebih baik. Aku mau memiliki masa yang penuh dengan lukisan indah seperti masa yang kau miliki. Aku ingin masa yang dianugerahkan kepadaku ini menjadi salah satu masa yang berharga dari sekian masa yang ada di dunia ini. Maukah kau membantuku melukis masa indah itu? Tak apa kan aku memakai topengku?
Pernah terpikir untuk menceritakan semuanya padamu, hingga tak ada lagi sisa di masa itu, hingga aku tak perlu lagi memakai topeng. Hingga kubaca sebuah kisah tentang seorang pemuda yang bertanya kepada Umar bin Khattab. Sang pemuda ini hendak melamar seorang gadis dan ia resah akan masa lalunya. Lalu ia bertanya kepada Khalifah Umar, “Ya Khalifah, aku ingin meminang seorang gadis. Tetapi aku tidak berani, khawatir karena aku pernah berzina ketika aku belum menerima Islam. Apakah aku harus menceritakan bahwa aku pernah berzina?”. Lalu Khalifah menjawab, “Celakalah kamu! Bagaimana kamu bisa menceritakan apa yang sudah Allah tutupi sebagai aibmu setelah kamu mengenal Islam? Pergilah!”. Aku mengambil nasehat Khalifah Umar ini hingga aku harus memakai topeng didepanmu. Memang aibku tak seberat aib sang pemuda tersebut, tapi tak apa kan aku memakai topengku?
Aku sudah menerima masa laluku. Karena ia tak bisa kuubah, apalagi dihapus. Yang bisa kulakukan kini hanyalah menciptakan masa yang bisa kubanggakan, yang bisa kau banggakan. Agar masa lalu itu tak lagi bisa menjangkauku, terhalang oleh masa-masa indah yang kita lukis bersama. Jika topeng yang kupakai tak menghalangi langkah kita justru malah mengukirkan senyum yang lebih indah, tak apa kan aku memakai topengku? J


Rumah, 21.01.2015 | Dyah Oktavia
http://hdwallsource.com/

Pemuda/i umur 20an biasanya suka berangan-angan tentang pasangan yang sudah ditakdirkan untuknya. Ada yang sudah menggandeng seseorang yang ia kira adalah takdirnya. Ada juga yang masih bersabar menjaga hati untuk si dia yang juga sedang menjaga hati untuknya. Meski berbeda status, mereka tetap sama-sama sedang berangan-angan. Yang sudah punya gandengan bertanya-tanya, “Mungkinkah dia jodohku?”. Yang masih sendiri bertanya-tanya, “Siapakah kau wahai takdirku?”.
Berangan-angan tentang pasangan, paling seru bagi yang masih jomblo. Kenapa? Karena mereka (kami, sih) sama sekali belum punya gambaran seperti apa pasangan mereka (kami, sih). Berbeda dengan yang sudah punya gandengan, setidaknya mereka sudah punya bayangan tentang pasangannya. Bagi jomblo, angan-angan tentang pasangan ini tidak akan ada habisnya. Terlebih bagi yang belum serius mencari ‘target’, bayangan tentang pasangan bisa sangat bervariasi. Mulai dari manusia normal hingga yang serupa alien (ya kali). Mulai dari orang-orang sekitar hingga bintang hollywood nun jauh tak terjangkau disana wkwkw. Jomblo memang banyak maunya, beda sama yang sudah punya gandengan. Mereka cenderung lebih realistis :P
Karena pada kata ‘pasangan’ ada kata ‘pas’, maka yang tidak ‘pas’ hanya akan jadi ‘angan’. Selanjutnya mereka akan melayang terbang bebas, menghilang entah kemana. Dan tergantikan oleh dirinya yang sekarang ada di sampingmu dan memenuhi anganmu. Penuh, hingga tak ada tempat untuk yang lain J
Pasangan, ‘pas’ di ‘angan’. Sebelum penghuni langit dan bumi menyatakan sah atas ikatan yang terjalin diantara dua orang manusia, tidak akan pernah ada yang pas di angan. Sebelum ijab dan qobul itu diucapkan, masing-masing masih bertanya-tanya sambil memantapkan hati. Tetapi, ketika seluruh penghuni langit dan bumi mengucapkan ‘sah’ atas hubungan yang terjalin, mungkinkah dia belum pas dalam anganmu? Setelah kedua orang tua, keluarga, saudara, tetangga, sahabat, teman berbahagia atas kesahan hubungan kalian, akankah masih ada yang kurang pas dalam anganmu? Bahkan agamamu pun telah genap, pas! Dan Allah telah menghalalkan yang sebelumnya haram kalian lakukan. Apalagi yang kurang? Tentu semuanya sudah ‘pas’ di ‘angan’ :D

Note: Maafkan atas tulisan hasil pemikiran sotoy dari jomblo ini. Hanya ingin mengajak bersabar untuk dia yang juga bersabar untuk kita. Bersabar untuk yang ‘pas’ menurut Allah bukan menurut kita. Jika tulisan di atas tidak bisa menyampaikan ajakan saya, setidaknya saya sudah menyampaikannya melalui ‘note’ mini ini wkwkw. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca blog saya. Terima kasih banyak J


Rumah, 20.01.2015 | Dyah Oktavia
http://hdwallsource.com/

Secara umum, ada dua macam manusia di dunia ini. Yang pertama adalah manusia yang baik perkataan dan perbuatannya. Yang kedua adalah manusia yang tidak baik dalam kedua hal. Meski sangat berlawanan, keduanya mempunyai sifat yang sama. Salah satunya adalah egois. Perbedaannya bukan terletak pada kadarnya, tapi pada cara mereka menggunakan keegoisan tersebut dalam kesehariannya. Pertama kita harus menyamakan definisi dari kata ‘egois’. Disini saya mengartikan ‘egois’ sebagai usaha seseorang dalam mendapatkan kebaikan untuk dirinya sendiri. Segala bentuk kegiatan yang ia lakukan ditujukan untuk kebaikannya sendiri.
Manusia jenis pertama menggunakan keegoisannya untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Mereka percaya dan mengamalkan satu prinsip yang sudah diketahui oleh banyak orang, yaitu “Jika kamu berbuat baik pada seseorang, maka akan ada orang yang berbuat baik padamu.” Kalimat yang cukup sederhana tetapi tak banyak orang dapat melakukannya. Manusia jenis pertama ini paham betul akan kalimat tersebut. Mereka percaya bahwa semua kebaikan yang mereka lakukan kepada orang lain akan kembali kepada diri mereka sendiri dan penelitian yang dilakukan oleh para ahli pun sudah membuktikan hal itu. Dengan kata lain, mereka melakukan kebaikan untuk diri-sendiri.
Manusia jenis kedua kurang pandai dalam memanfaatkan keegoisan mereka. Bukan untuk mendapatkan keuntungan malah sebaliknya. Mereka tidak percaya pada kalimat yang merupakan prinsip manusia jenis pertama. Mereka benar-benar melakukan segala sesuatu untuk diri-sendiri, tidak pernah atau jarang sekali berbuat baik kepada orang lain. Karena menurut mereka jika memberikan sesuatu maka sesuatu itu akan hilang darinya dan berpindah pada orang lain. Tidak akan pernah kembali dalam bentuk apapun sehingga yang mereka miliki akan berkurang. Dan terus berkurang jika mereka tetap memberikannya pada orang lain hingga pada akhirnya mereka tidak memiliki apa-apa. Wajar saja jika mereka enggan untuk berbagi dengan sesamanya.
Kedua jenis manusia di atas akan memberikan dampak yang berbeda bagi kehidupan. Manusia jenis pertama jelas akan memberikan dampak yang baik karena tidak hanya dia yang akan menerima kebaikan, tetapi juga orang lain. Manusia jenis kedua sebaliknya, bukan hanya dia yang akan tidak akan menerima kebaikan tetapi juga orang lain. Sudah sangat jelas perbedaan antara keduanya, kita tinggal memilih ingin menjadi manusia jenis pertama atau kedua. Semoga tidak salah pilih J


Surabaya, 12.01.2015 | @dyahokta_via
http://hdwallsource.com/

“Katanya suka hujan? Kalo hujan turun kok malah menghindar? Bohong!”
Baiklah, saya akan menjawabnya. Sebenarnya saya tipe orang yang introvert. Tapi, untuk menjawab pertanyaan ini saya perlu sedikit membuka ‘rahasia kecil’ saya melalui tulisan ini. InsyaAllah saya sudah ikhlas menerima bahwa dunia akan tau ‘rahasia kecil’ ini. Ehem.
Alasan pertama, tau kan kalau sedang musim hujan jemuran itu susah keringnya? Dan kalau sudah berhari-hari menginap di jemuran baunya mengharuskanmu untuk mencucinya lagi. Coba bayangkan! Kamu harus mencuci lagi baju yang sudah kamu tunggu berhari-hari agar kering tapi ternyata harus dicuci lagi gara-gara aromanya seharum bunga bangkai. Dan jangan lupakan tumpukan cucian lain yang hadir sesaat setelah kamu berhasil mencuci cucian pertama. Numpuk! Mending kalau masih ada baju di lemari yang bisa dipakai. Nah kalau nggak ada gimana?
Alasan kedua, sayang diri-sendiri. Saya bukan tipe wanita tangguh yang tetep sehat meski dihempas batu jalanan. Memang tidak serapuh dandelion yang cuma ditiup langsung melayang sih. Tapi, dengan kondisi jasmani dan rohani saya seperti ini, saya belum berani hujan-hujanan karena jika hal yang tidak diinginkan terjadi (dibaca: sakit) akan dapat meresahkan dan merepotkan banyak orang. Meresahkan keluarga di rumah dan merepotkan adek-adek kost.
“Tapi kan, kalau sudah suka apapun akan dikorbankan. Yah kalau sukanya beneran sih.”
Kita beda pendapat disini. Perasaan suka tidak harus membuat kita menderita. Menderita akan sesuatu bukan berarti kita menyukainya. Begitu sebaliknya, jika kita tidak menderita akan sesuatu bukan berarti kita tidak menyukainya. Jujur saya tidak mengerti alasan saya menyukai hujan. Perasaan suka itu hadir begitu saja. Sama seperti perasaan kalian yang suka pantai, senja, dan lain sebagainya. Bisa jelaskan kenapa kalian menyukainya? Oke, kalian punya alasan. Karena di pantai kalian bisa main pasir atau main air atau alasan lainnnya. Yang suka senja, karena senja itu menenangkan dan lain sebagainya. Tapi, untuk hal-hal lainnya yang mirip dengan kalian sukai itu, kenapa kalian tidak menyukainya juga? Misal, sunrise dan sunset warnanya sama-sama oranye kan? Lalu kenapa kalian lebih memilih senja untuk dikagumi? Akuilah. Kadang menyukai sesuatu tidak butuh alasan. Rasa suka itu hadir begitu saja dengan membawa ketentraman hati. Memang kita bisa menyampaikan alasan atas rasa suka tersebut. Tapi, percaya deh. Rasa suka itu hadir sebelum ada alasan yang kalian sebutkan tadi. Awalnya kita tidak punya alasan menyukainya, tapi karena ada pertanyaan maka kita menyiapkan jawabannya. Emmm... kenaa jadi panjang begini ya wkwkw. Sebenarnya yang ingin saya sampaikan adalah untuk berkorban demi sesuatu yang kita sukai tidak harus ‘bersentuhan’ dengannya. Terkadang menjaga jarak adalah pengorbanan yang paling tepat agar satu sama lain tidak saling menyakiti dan juga tidak membawa ketidaknyamanan bagi makhluk lain disekitarnya. Analogi yang biasa digunakan orang untuk menggambarkan kondisi seperti ini adalah matahari dan bumi. Mendekat berarti saling menghancurkan, menjaga jarak justru akan menyelamatkan banyak kehidupan.
Saya suka hujan. Gemericiknya menenangkan. Membuat saya merasa tidak sendiri meski sebenarnya sedang sendiri di kamar. Dan kehadirannya ‘memaksa’ saya untuk memanfaatkan senjata yang hanya dimiliki oleh seorang muslim: doa. Allaahumma shoyyiban naafi’an. Ya Allah, semoga hujan ini membawa kesuburan dan kemanfaatan J


Surabaya, 11.01.2015 | @dyahokta_via