http://hdwallsource.com/

Ini tentang pelajaran yang sudah saya pelajari sejak lama, namun belum saya pahami cara untuk melakukannya. Sulit rasanya, meski banyak orang sekitar yang sudah membuktikannya meski mereka tak menyadarinya. Namun, saya menyadarinya dan mencoba untuk menirukan mereka. Sayang belum berhasil.
Tentang berprasangka baik pada masa setelah ini. Setiap kita pasti punya dua jenis masa: masa sedang berbahagia dan masa untuk bersabar. Saat berbahagia, kita tak punya alasan untuk tak tersenyum. Tersenyum atau tertawa menjadi hal yang mudah. Sedangkan saat harus bersabar, terkadang agak sulit untuk tersenyum apalagi tertawa. Dan karena alasan ‘agak sulit’ ini, hingga saat ini saya belum berhasil melakukannya.
Mungkin tidak akan kamu temui saya dalam keadaan yang selalu merengut. Tapi dalam keadaan tersenyum atau tertawa pun, seseorang bisa saja tidak sedang berbahagia. Mungkin senyum atau tawa itu hanya sebuah usaha untuk mencairkan isi hati yang mulai menjenuh. Dan mencoba untuk menjadi makhluk yang baik dengan senyuman, agar terkesan bersyukur atas nikmat yang telah diterimanya.
Bersama kesuiltan pasti ada kemudahan. Itu janji Rabmu. Maka, masihkah kau akan menyimpan ketidakyakinan itu? #selftalk
Pada masa setelah ini, akan ada solusi terbaik dari setiap masalah. Yang akan mengundang senyummu kembali, membersamaimu dalam setiap ucapan syukur. Awan yang menguasai pandanganmu tak kan kuasa menahan cahaya matahari yang kau lihat dengan keceriaanmu. Setiap langkah seakan terasa lebih ringan. Setiap senyum yang kau temui terkesan lebih manis. Kau akan selalu tersenyum, pada masa setelah ini.
Namun, ada hal yang lebih menarik. Bagaimana jika kau tersenyum saja sepanjang masa yang kau miliki? Senyum saat masa sedang berbahagia dan masa saat harus bersabar. Bukan untuk hati sudah mulai jenuh, atau hanya untuk terkesan bersyukur. Tapi, untuk Rabmu, pertanda kau percaya padaNya. Percaya pada janji-janjiNya. Percaya bahwa Ia adalah penguasa masa. Tidak ada satupun masa yang luput dari pantauanNya. Hingga kau tak perlu khawatir akan masa setelah ini atau masa setelah masa yang lain. Kau hanya perlu untuk bersyukur, bekerja dan sekaligus menjaga ibadahmu dalam setiap masa. Hingga tidak ada satupun masa yang kau lewati tanpa keyakinan pada Rabmu. Bukankah, ini lebih menarik? J


Surabaya, 11.02.2015 | Dyah Oktavia
http://hdwallsource.com/

Sore hari kemaren, tepatnya jam 3 sore, saya kembali berkesempatan menjadi seorang pemelihara binatang (yang baik). Saya tidak terlahir dari keluarga yang suka memelihara binatang. Karena (mungkin) menurut keluarga kami, mengurus urusan keluarga saja sudah ribet apalagi ditambah mengurus binatang yang segala sesuatunya kadang harus dilayani. Mulai dari makan, mandi, bersih-bersih kandang dan lain sebagainya. Karena hal itu, dalam hidup ini saya baru berkesempatan menjadi seorang pemelihara binatang (yang baik) selama dua kali. Pertama, waktu masih usia SD saya memelihara anak ayam. Tau kan anak ayam warna-warni yang dijual dengan harga Rp. 1000? Saya pilih yang warnanya alami yaitu putih kekuningan dan berhasil memeliharanya hingga usia remaja. FYI, tidak sedikit anak ayam warna-warni itu yang mati setelah beberapa hari pasca serah terima kepemilikan dari penjual ke pembeli. Tapi, anak ayam milik saya yang belum berkesempatan memiliki nama ini berhasil survive hingga usia remaja. Hal itu cukup menjadi bukti bahwa saya adalah seorang pemelihara binatang yang baik B). Sayangnya, pada suatu hari saat saya sedang boci (bobok ciang) ia menemui ajalnya karena peristiwa tabrak lari di belakang rumah saat sedang bermain *hiks. Dan malangnya lagi, saya tidak berkesempatan melihat jasadnya untuk yang terakhir kalinya. Entah jasadnya dikuburkan dimana setelah peristiwa na’as itu. Yah... mau bagaimana lagi. Kebersamaan kami harus berakhir seketika itu juga. Kisahnya sudah berakhir di dunia yang fana ini *hiks. Selamat jalan, anak ayam kecilku yang malang *hiks.
Pada kesempatan kedua ini, saya memilih menjadi pemelihara binatang yang biasa disebut Kura-kura. Saya lupa menanyakan umurnya. Yang pasti tubuhnya masih kecil dan rapuh. Harganya cukup mahal, yaitu Rp. 20000. Padahal yang ukuran lebih besar (mungkin tiga atau empat kali lipat ukuran bayi kura-kura ini) hanya seharga Rp. 35000. Untuk menguji kemampuan saya memelihara binatang, saya memutuskan untuk membeli yang paling kecil. Alhamdulillah tidak seperti binatang peliharaan pertama saya, si kura-kura mungil ini berkesempatan memiliki nama yang lucu. Karena pada saat masih kecil belum bisa ditentukan jenis kelaminnya (kata Ibu yang jual), maka saya beri nama dia Kuku. Bisa jadi namanya akan berubah jika ternyata dia seorang lelaki. Di hari pertama ini dia sangat aktif sekali. Maunya jalan terus. Padahal habitatnya saat ini hanya berukuran sekitar 8x15 cm. Kasian sih sebenernya. Tapi, mau bagaimana lagi. Sabar ya Kuku, kapan-kapan tak beliin rumah yang gede deh. Tapi, gak janji ya wkwkw *cium Kuku*.
Melihat Kuku yang sepertinya kesepian, ingin terus berlari mencari teman atau tempat yang ingin dia tinggali, saya jadi agak galau. Sempat berpikir untuk melepasnya saja. Tapi, tiba-tiba saya teringat sebuah kisah yang pernah disampaikan oleh murabbi saya beberapa tahun yang lalu. Ini kisah tentang seorang lelaki pemelihara ikan. Beliau memiliki akuarium yang panjang dan cukup lebar. Sehingga, ikan-ikan yang beliau pelihara bisa leluasa berenang. Tiba-tiba beliau kedatangan seorang tamu yang kemudian bertanya, “Kenapa tidak dilepaskan saja ikannya, Pak? Kan kasian mereka. Akan lebih baik jika mereka tinggal di habitat aslinya.” Sang pemelihara ikan kemudian menjawab, “Jangan sotoy kamu. Dengan hidup di akuarium ini, saya menjamin mereka mendapatkan makanan yang sehat dan cukup. Airnya selalu saya ganti dengan rutin, sehingga mereka bisa nyaman di akuarium ini. Saya menjamin seluruh kebutuhannya terpenuhi. Kalau mereka hidup di sungai misalnya, bisa jadi mereka akan mati karena kepalanya terbentur batu, atau tidak mendapatkan makanan yang cukup, atau lebih mengenaskan lagi nyawa mereka berakhir di mulut binatang lain. Sedangkan disini, hidup mereka lebih terjamin.” Dan kisah itupun berakhir.
Kemudian murabbi saya menganalogikankan kisah ikan itu dengan kehidupan manusia, dengan Allah sebagai pemeliharanya. Mungkin kita sempat berpikir seperti tamu pemelihara ikan yang menganggap kehidupan yang kita inginkan lebih baik daripada yang terjadi saat ini. Akan lebih baik jika kita terlahir sebagai orang kaya yang tidak perlu bekerja keras untuk membeli barang ini dan itu. Atau mungkin terlahir sebagai orang cerdas yang tidak perlu belajar lama untuk memahami materi pelajaran. Atau terlahir di negara yang lebih makmur, sehingga kehidupan keluarga lebih sejahtera. Tapi, Allah sebagai pemelihara seluruh alam semesta beserta isinya tau kehidupan yang paling baik untuk setiap makhluknya. Setiap detail kehidupan mulai dari keluarga, tempat tinggal, bentuk dan ukuran tubuh, kemampuan yang dimiliki, hingga hal yang sangat kecil seperti sel dan kawan-kawannya. Mungkin, jika kita terlahir sebagai orang yang lebih cantik atau tampan, kita tidak akan memiliki teman-teman yang tulus seperti sekarang. Jika terlahir sebagai orang kaya, kita tidak akan pernah menikmati rasanya mendapatkan uang yang meski tidak besar jumlahnya tapi diperoleh dengan kerja keras dan halal. Atau yang lebih parah, jika kita dilahirkan sebagai ‘orang lain’, kita tidak akan memiliki iman yang lebih baik dari yang kita miliki saat ini. Allah Maha Tau segalanya.
Jika kita diberi kesempatan untuk menentukan semuanya, mulai dari tempat tinggal, keluarga, kecerdasan, kemampuan yang dimiliki, kekayaan dan lain sebagainya, mungkin kehidupan belum juga dimulai hingga saat ini. Manusia dengan sifatnya yang tidak akan pernah puas dengan segala yang dimiliki akan berpikir beribu-ribu kali untuk merencanakan kehidupan yang akan ia jalani. Ia ingin kaya, cerdas, rupawan, multitalenta dan hal-hal lain yang sempurna menurutnya. Dan jika tidak dibatasi waktunya, mereka tidak akan pernah selesai meminta ini dan itu. Mereka akan terus menyebutkan yang mereka ingini, kemudian meralatnya, menyebutkan hal lain yang menurutnya lebih baik, dan akan terus seperti itu. Bukankah dengan kewenangan yang hanya dimiliki oleh Allah untuk menentukan segala sesuatunya memudahkan hidup kita? Bukankah Allah tau segala hal yang lebih baik? Bukankah kehidupan yang sempurna di dunia yang satu tidak menjamin kehidupan di dunia lain yang juga sempurna?
NB: Tidak bermaksud menggurui atau menjadi orang yang sok bijak. Terkadang tulisan seperti ini dimaksudkan untuk mengingatkan diri-sendiri. Sekaligus mengingatkan orang lain agar berpikir dan sama-sama menjadi pribadi yang lebih baik setelahnya. Rasa ‘tak menyenangkan’ yang hadir mungkin disebabkan oleh kekhilafan si penulis. Semoga rasa apapun yang muncul saat atau pasca membaca tulisan ini, tidak menyebabkan pembaca  gagal mengambil pelajaran dari tulisan ini. Semoga J


Surabaya, 05.02.2015 | Dyah Oktavia