بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Baru
saja membaca sebuah note facebook keren yang ditulis Mbak
Yusfin “Ribuan Kilometer dari Jawa”. Beliau sedang melaksanakan
KP di Bontang. Ramadhan dan Ied dihabiskan disana. Meski jauh dari
keluarga, mereka (Mbak Yusfin dan dua orang temannya) sepertinya
tidak akan merasa sendiri. Dari tulisan beliau, banyak orang-orang
sholih dan sholihah yang siap menggantikan peran keluarga dan saudara
saat lebaran tiba, meski mereka tidak akan tergantikan.
Lingkungan
yang begitu kondusif tergambar dari tulisan beliau. Lingkungan yang
menambah ketaatan kepada Rabbnya. Tak heran jika kekerenan beliau
akan semakin bertambah sekembalinya dari KP tersebut. Yang keren
makin keren (Mbak Yusfin). Yang nggak keren makin nggak keren (Saya
T.T).
Ini
dia notenya, semoga bermanfaat.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Kubuka
catatan mimpi yang bahkan aku lupa kapan pastinya aku tuliskan. Tapi
dengan segera aku berdecak kagum. Empat mimpi terwujud sempurna, lima
lainnya sudah tercapai setengahnya, dan satu lagi diganti dengan yang
jauh lebih baik.
Ingin
meloncat-loncat layaknya anak kecil kegirangan sesaat setelah
mendapat telpon dari kode yang asing, +62548. Bukan Surabaya, bukan
Jombang pastinya, dan bukan pula Jakarta. Ya, itu kode dari pulau
seberang, Kalimantan. Proposal Kerja Praktek yang di akhir semester
lalu kami kirimkan, terjawab sudah. Tidak terbayang bagaimana rasanya
di sana. Tidak mengenal siapa-siapa dan belum tahu harus berbekal
apa. Yang ada hanya bahagia karena kami lebih dimudahkan daripada
teman-teman yang masih saja menunggu jawaban. Satu mimpi yang jauh
lebih baik itu adalah Kerja Praktek di Bontang. Pada catatan mimpi
itu tertulis tujuan KP yang lain.
Setelah
berburu tiket murah dan informasi tempat tujuan, singkat cerita saya,
Rani, dan Yunus berangkat dari bandara Juanda Surabaya tanggal 9 Juli
2013. Dengan diantar ibu saya dan sopir taxi yang sangat lantang
mengucap “Bismillah” setiap kali gas akan diinjak, serta
menuturkan banyak pesan untuk tiga penumpang wanitanya itu, tentang
keamanan di jalan raya. Pertama kali naik pesawat, melihat tanah tak
berpenghuni di pulau Madura masih luas terhampar, batas laut yang
nampak jelas hijau-birunya, awan putih berarak di bawah kami dan ada
kalanya hanya putih bersih yang nampak dari jendela, seperti sedang
berada di alam yang lain. Tak sampai dua jam, tibalah kami di
Balikpapan. Persis waktu perjalanan ibu Surabaya-Jombang. Setelah itu
kami meluncur ke Bontang.
Hari-hari
kami dipenuhi dengan agenda full
days Central
Control Room pabrik.
Bus dari kantor KIE ke pabrik tersedia antara pukul 6.50-7.30 WITA,
sehingga kami harus bergegas melepaskan diri dari iklim Surabaya yang
satu jam lebih lambat dari sini. Pulang jam 16.00 WITA dengan tempat
pemberhentian yang sama. Pulang pergi lewat jalan tembus dengan hutan
di kanan kirinya. Selama di pabrik, kami harus berusaha mendapatkan
pelajaran, bertanya, membaca, berdiskusi, mengamati. Bahwa beginilah
nantinya seorangEngineer akan
bekerja. Pak Murchami, Pak Budi, Mbak Irene, Mas Iqbal, Mas Robby
yang dengan jelas memberikan gambaran itu lewat keseharian di
ruangan Process
Engineening(PE)
dan meeting tiap
pagi.
Kami
belajar bahwa dengan kebersamaan yang hangatlah kita bisa bertahan
dalam tekanan belasan tahun. Bahwa untuk mendapatkan manfaat yang
besar, resiko yang tinggi tidak bisa dihindari. Kita justru harus
berpikir keras, bersiaga, dan bekerjasama agar manfaat itu akan terus
menerus dapat dihasilkan. Dengan keistiqomahan menjaga stabilitas
sistem, kesungguhan memperbaiki setiap kesalahan kecil yang muncul
dengan bersegera. Karena jika menundanya, resiko besar itu akan
membinasakan kita. Bapak-bapak operasi di ruang DCS yang tetap riang
di tengah ancaman ledakan, kebocoran, dan ketidakamanan yang lain.
Pak Panca yang supel dan lebih nyaman memanggil saya ‘Ndari’
(asal ucap aja awalnya), Pak Gatot yang alim banget (ternyata ketua
panitia I’tikaf Baiturrahman), Pak Slamet yang penuh petuah, Pak
Sys yang telaten menjelaskan, Pak Isjono yang selalu menggunakan
bahasa Jawa, Pak Sudarko yang mengantar kami ke puncak menara primary
reformer,
Pak Sarjuki yang mengkhawatirkan kami hingga tidak bersedia menapak
CO2stripper,
pak Meki yang akrab sekali dengan kami, Pak Imam Maarif, bapak
manager operasi yang memperlakukan kami seperti murid kesayangan,
serta bapak-bapak baik lain yang sangat bahagia saat membagi ilmunya
bersama kami. Oya, senang juga dapat menikmati fasilitas kursi pijat,
pijat kaki berputar, dan tensi digitalnya. Berasa DCS rumah sendiri.
Tentang
keluarga baru selepas dari pabrik, Bu Erna dan Pak Zainal yang
senantiasa menyediakan pelayanan terbaik bagi tamu dua bulannya ini.
Padahal membayar pun tidak, justru kami yang terus menerus menerima
sebentuk kasih sayang dari orang tua yang sebelumnya sama sekali
tidak kami kenal ini. Tentang teman seperjuangan yang 24 jam tidak
terpisahkan. Satu kamar, satu motor, satu meja dalam ruangan PE. Saya
belajar banyak dari Rani, tentang bagaimana seharusnya bertahan.
Bagaimana menata segala hal yang nampak remeh tapi akan jadi masalah
jika dibiarkan. Bagaimana kita harus sigap dan tanggap agar tidak
tertinggal. Tanpa panggilan ibu, tanpa bantuan ibu yang biasanya saya
dapat tanpa diminta. Yunus (Aceng) yang nerimo banget
sama keadaannya. Qanaahnya
luar biasa. Ditinggal partner KP tiba-tiba, hidup sendiri di rumah
kosong ‘tama’nya (tantenya). Sudah cowok sendiri di antara kami,
masak-masak sendiri, cuci baju sendiri, segala sendiri. Semangat
ceng! Pulang ke Surabaya kamu bakal jadi kebanggaan mama.
Tentang
semangat untuk memperbaiki diri seorang gadis belia yang masih
terbata bacaan Al Qurannya. Dia memutuskan berhijrah di usia yang
masih sangat muda dengan kemauannya sendiri setelah pulang dari
sebuah pengajian di Loktuan. Dia menyempurnakan hijabnya, mencari
saudara yang bisa membimbingnya. Islami Putri Wulandari, persis
usianya dengan adik kedua saya. Pun sangat indah namanya. Pasti
ibunya sangat bahagia melihat dia yang sekarang, yang menjadi jawaban
atas doanya saat menuliskan nama bagi putri kecilnya itu.
Tentang
10 hari terakhir Ramadhan di Baiturrahman. Ibu-ibu tangguh yang
menjadi teman kami sehari-hari. Bu Juju dengan empat putra-putrinya
yang kecil-kecil. Seorang ibu yang tersenyum sepanjang waktu, bahkan
saat Tsaqif sedang menangis rewel. Tidak tahan melihat pesona ibu
ini, auranya memancar kemana-mana. Bu Siti Alfiah, ibunda Nibraz
kecil dan Nayla. Sungguh khas tangisan Nayla, sehingga ibunya tak
ragu berlari selepas salam untuk menjemput putrinya itu. Bu Dwi, ibu
cantik yang senantiasa hangat menyapa kami, tidak peduli dia berada
dan kami sederhana. Bu Mud, ibu mungil yang senantiasa terisak dalam
setiap witir berjamaah, saat doa sapu jagad diucap, saat
saudara-saudara di Palestina, Mesir, Syria, dan mujahid-mujahid lain
di belahan dunia didoakan. Ibunya Syifa, yang seringkali berada di
samping saya dalam shaf, yang dengan sabar membiarkan Syifa berayun
di pundaknya saat bangun dari sujud dan kembali sujud, atau
menggendong Syifa sambil ruku, agar putrinya itu senang, tetap tenang
saat ibundanya sedang sholat. Bu Atin, yang menunjukkan kemahirannya
menarik perhatian puluhan anak yang sebelumnya ramai berlarian, yang
dengan mantap memberikan Hanifah yang seringkali meraih tangan saya
begitu tatapan kami bertemu, lalu berpindah dari dekapan bundanya
untuk dititipkan ke saya.
Bocah-bocah
I’tikaf di bawah kepemimpinan Nibraz besar dan Fitri yang
menghabiskan sepuluh hari mereka dengan ceria, setiap hari
menciptakan episode yang berbeda. Sangat kreatif dan terstruktur.
Kagum sekali pada episode dokter-dokteran. Andai saya bisa merekam
semuanya. Mungkin kalianlah ‘generasi yang hilang’.
Tentang
barisan dengan nyala obor layaknya belasan tahun yang lalu. Satu
mahasiswi berjaket “GEMA LINCAH ISLAMI” dan satu lagi “LDJ ITS
BERAKSI” menyusup di tengah barisan anak-anak yang riang
mengumandangkan takbir keliling pemukiman, merebut perhatian warga
sekitar. Kembang api warna-warni terus bersahutan, berebut ingin
dipandang.
Tentang
Idul Fitri tanpa ibu dan adik Nisa di samping saya. Tiba-tiba sesak
saat mendengar adik Fajar sedang sungkem sama ibu, saat mendengar
suara Bapak yang selalu tidak tahu harus berucap apa di depan
putrinya, suara riang adik Nisa yang saya masih tidak percaya bahwa
dia sudah kelas dua SMA. Terputus, kemudian terdengar lagi suara
Budhe yang bahkan mungkin lupa bahwa saya hanya keponakannya, bukan
putrinya, sehingga kasih sayangnya sama. Pun budhe dan kakak sepupu
dari Kediri yang setia berpetuah demi kebaikan masa depan saya.
Tentang
kawan seangkatan yang sangat terasa maknanya ketika nasib kami sama.
Makan, berrally motor
seharian, menetap di kamar dan berebut perhatian Dimas –adik mantan
komting kami yang rumahnya Bontang- yang saat pulang cukup susah
beranjak dari pangkuan saya sebelum akhirnya diambil ‘paksa’ oleh
kakaknya. Lebaran tanpa keluarga tetap hangat karena ada kalian.
Tentang
keluarga di rumah impian. Mas Iqbal, senior kami dari Teknik Kimia
ITS beserta mbak Ayu yang menjadi bukti bahwa perempuan baik pasti
dipertemukan dengan laki-laki yang baik, walau sebelumnya terpisah
jarak ribuan kilometer. Buku hadiah pernikahan mereka yang baru ada
di tangan saya saat si Birru sudah berumur delapan bulan sangat sarat
hikmah. Dari sana saya belajar bahwa hikmah itu akan terus mengalir
selama kita hidup. Sangat sayang jika dia tidak disimpan dalam bentuk
tulisan. Bahwa menjadi ibu adalah tugas besar yang harus disiapkan
matang-matang jauh sebelum seorang wanita ‘diminta’. Bahwa rumah
adalah tempat berangkat dan kembali yang terbaik.
Tentang
Dona Windy Astuti, muslimah yang baik hatinya. Mungkin jika
mengenalnya lebih awal, saya akan sangat nyaman berlama-lama
dengannya. Seseorang yang mengajari kebaikan-kebaikan dengan
sederhana namun membekas, yang setiap ucapan dan tindakannya jauh
dari menyakiti, bahagia ketika temannya bahagia. Namun saya hanya
bisa mengenangnya lewat tulisan Mas Iqbal, teman kuliah yang
mengabadikan nama dan kisahnya. Andai saya bertemu lebih dulu sebelum
dia berpulang. Mungkin Allah ingin dia lebih terjaga di sisiNya
sehingga memanggilnya lebih awal. Betapa manisnya.
Bontang.
Kota kecil yang membuat saya takut. Takut lambat laun akan jatuh
cinta padanya dan enggan kembali. Di sini, di ribuan kilometer dari
rumah dan kehidupan saya di Jawa, saya yakin masih banyak hikmah yang
belum tersingkap. Separuh jalan lagi, dan saya akan terus mencari.
Kepadanya saya berjanji, tidak akan pulang ke Jawa dengan tangan
hampa.
Untuk
Mbak Mia, yang rela meminjami rumah keduanya untuk kami dengan
cuma-cuma. Mbak Tyzha, yang merelakan motor kesayangannya kami ajak
berkelana, ayah ibunya mbak Tyzha yang ramah tak terkira, dan banyak
orang lain yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu jasanya,
terima kasih banyak. Cukuplah Allah yang menyediakan penggantinya
untuk kalian, karena kami tak punya apa-apa yang layak diberikan.
Ya
Allah, sungguh angkuh jika kami merasa lebih tahu dariMu, karena
sangat benar adanya bahwa Engkau Maha Mengatur setiap kejadian. Jika
semut tak Kau biarkan kelaparan, bagaimana mungkin Engkau diam
sehingga kami terlantar?
Ya
Allah, mohon tunjukkan yang terbaik bagi kami. Kami tidak tahu,
sedangkan Engkau tahu. Hamba akan percaya sepenuhnya.
Maaf
belum sempat terucap kemarin, Taqabbalallaahu
minna wa minkum, shiyaamana wa shiyaamakum.
Mungkin lebih banyak salah ketimbang manfaat yang saya bagi, mohon
maaf kepada teman-teman yang menyempatkan diri untuk membaca ini.
Karena Allah sudah mempercayakan ampunanNya atas kesalahan di antara
kita melalui maaf yang ikhlas.
Selamat
Idul Fitri 1434 Hijriah. Semoga kebaikan Ramadhan tetap terjaga
hingga Ramadhan berikutnya (jika masih bertemu Ramadhan tahun depan).
:)
Salam.
Bontang,
09072013-09082013
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Setelah
membaca note ini
saya berharap bisa berKP ria di sebuah lingkungan yang tidak
sekondusif itu. Sehingga bisa mengukur seberapa kuat iman saya ketika
dihadapkan dengan lingkungan yang 'tidak biasa'. Tapi, mimpi
tinggallah mimpi. Di rumah saja, iman saya turun drastis. Padahal
lingkungan sekitar biasa-biasa saja. Hanya karena tidak ada kegiatan
alias nganggur nggak karuan, diri semakin malas beribadah. Mana
mungkin saya bisa tahan di lingkungan 'tidak biasa'. Huffttt... T.T
Probolinggo
3
Syawal 1434 H
0 komentar:
Posting Komentar
Kolom dibawah ini cukup kan untuk menampung kata-kata inspirasimu? ^_^