Tooth #1

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh…

Alhamdulillah. Rasa sakit terkadang menjadi semacam bukti bahwa kita masih memiliki ‘hal’tersebut. Ngakak waktu itu ketika seseorang yang dinyatakan sedang menderita penyakit kanker otak tapi dia malah senang mendengarnya. Katanya, “Itu bukti kalau saya masih punya otak, Dok.” #yaelah
            Sebenarnya agak malu sih bercerita soal sakit saya yang satu ini. Gak keren bet -___-. Tapi, okelah. Saya hanya ingin memberikan informasi tentang anggaran dana hingga tak lagi sakit ‘barang’ itu dan bisa digunakan sebagaimana mestinya tanpa harus dikeluarkan secara paksa dari rumahnya sendiri.
            ‘Barang’ ini begitu berharga, seperti halnya ‘barang-barang’ yang lain. Dan tiap hari selalu dipakai untuk menjaga diri kita tetap eksis di dunia nyata. ‘Barang’ ini memiliki ciri-ciri berwarna putih, berbaris membentuk setengah lingkaran di atas dan bawah, terdiri dari tiga jenis, yang satu untuk memotong, satu lagi untuk mencabik-cabik dan yang paling belakang untuk menghaluskan. Yap! Tooth!
            Saya lupa tepatnya pada malam apa, tiba-tiba rasa sakit itu kembali setelah sekian lama (semenjak kembali ke perantauan tanggal 5 Januari 2014) berpamitan untuk pergi. Saya curiga popcorn mengundangnya kembali tengah malam saat saya tertidur dengan lelap. Entah apa yang akan direncanakan popcorn sehingga ia tega menghadirkan kembali rasa sakit itu, tengah malam pula. Karena sudah berpengalaman (setidaknya beberapa hari saat musim liburan semester kemaren yang sangat singkat itu) menangani gigi yang merengek ini, saya berhasil me-ninabobok-kannya. Ehehe. Yah meski dia bangun lagi pada akhirnya. Dan rengeknya semakin menjadi-jadi, menemani saya mengerjakan kolokium hingga sore hari. Wrrrrrrr… rengekannya menyebalkan. Hufff…
            Pada saat rengekan pertama (saat musim liburan semester kemaren) saya sama sekali tidak berpikiran untuk memaksanya pergi dari rumah tempat kediamannya. Tetapi, setelah beberapa jurus yang saya prediksi bisa mengatasi rengekan menyebalkan itu tidak berhasil (seperti menambal pipi dengan salonpas (maaf sebut merk) dan menambal lubang setinggi kira-kira setengah sentimeter itu dengan kapas yang sudah ditetesi albothyl (maaf sebut merk lagi), saya menyerah juga. Dengan terpaksa harus mengusirnya, selamanya dari rumahnya.
            Setelah bertanya kepada beberapa teman dan akhirnya mendapatkan alamat dokter yang bisa membantu saya mengatasi masalah ini, akhirnya saya mendatangi dokter tersebut yang ternyata cantik-tapi-sayang-tidak-berjilbab #ups. Pertama, pasti sesi curhat. “Gigi saya sakit, Dok. Berlubang. Waktu liburan kemaren sempat sakit. Akhirnya sembuh berkat getah-entah-dari-pohon-apa, resep turun-temurun di desa saya. Dan sekarang sakit lagi, sejak tengah malam tadi.” Begitulah kira-kira curhatan saya kepada dokter cantik  dan ramah ini.
            Setelah sesi curhat selesai, saatnya saya terbaring di sebuah tempat separo krsu separo ranjang untuk kemudian diperiksa gigi saya tersayang ini. Kata dokternya, “Iya berlubang. Kotor. Saya bersihkan dulu ya!”. Dan beberapa menit berlalu dengan beberapa alat yang masuk ke dalam mulut saya, membuat gigi bergetar sehingga terasa sakit (meski tidak butuh imbuhan kata “sekali” atau “banget” dkk). Yah! Mungkin sudah cukup parah sehingga bergetar saja sudah terasa sakitnya. Kata dokternya sih, “Ini lubangnya sudah mencapai saraf. Bakteri masuk ke akar gigi dan terjadi infeksi di bawah. Ada nanah pas di bawah gigi sehingga gigi terasa muncul ke atas dan terasa sakit ketika beradu dengan gigi di atasnya.” Alhamdulillah masih bisa ingat penjelasan dokter meski sudah beberapa hari. Hehe. #PadahalCumaBegituDoangSudahBangga.
            Curhat dan cuci gigi bersama dokter ini berakhir dengan membayar biaya pengobatan sebesar Rp. 98.000,- dan keliling Keputih sampai Mulyosari bersama adek kos N untuk membeli obat generik bermerk Lincomysin. Kenapa pake acara keliling segala? Karena beberapa apotek kehabisan obat antibiotik ini. Sebenarnya bisa saja diganti dengan obat paten, tetapi hah sudahlah. Lupakan obat paten, harganya jauh melangit ke tujuh. Kata mbak-mbak yang jaga apotek sih harganya bisa 10ribu per biji, padahal yang generik Cuma Rp. 10.200,- sudah dapat 12 kapsul. Wuh… jauh banget ya bedanya. Baru tau  -___-

Surabaya

18 Rabi’ul Akhir 1435 H

0 komentar:

Posting Komentar

Kolom dibawah ini cukup kan untuk menampung kata-kata inspirasimu? ^_^